SEJARAH KIPAS
Kipas mempunyai sejarah yang panjang dalam
budaya Tionghoa. Sejak zaman lampau, melewati dinasti demi dinasti,
fungsi dari kipas juga mengalami perubahan. Kipas awalnya digunakan
untuk menutupi mata dari terik matahari dan terpaan angin yang kadang
meniupkan debu, sekaligus berfungsi sebagai pengusir rasa gerah dengan
cara mengipas-ngipaskan angin. Kemudian, para seniman mulai menghias
kipas, menuliskan puisi dan melukis diatas kipas. Secara perlahan,
berkembanglah budaya di atas kipas. Lukisan diatas kipas dimulai pada
Dinasti Samkok.
Menurut buku “Sejarah Lukisan Terkenal” yang ditulis Yan Yuan
Zhang dari Dinasti Tang, Buo Yang, yang merupakan kepala penulis sejarah
dalam dinasti tersebut, pertama kali ada lukisan di atas kipas yang
dibuat untuk Cao Cao. Kejadiannya juga adalah karena ketidaksengajaan,
ia menjatuhkan setetes tinta hitam diatas kipas. Untuk
menyembunyikannya, ia menggambar seekor lalat diatas kipas itu. Meskipun
ia berpikir gambarnya kurang bagus, namun Cao Cao tidak menemukan
kecacatan dalam kipas yang dibuat untuknya itu, dan berpikir bahwa kipas
bergambar itu unik. Dimulai pada zaman Dinasti We Jing, penulisan sajak
dan lukisan diatas kipas menjadi suatu mode dan diturunkan dari dinasti
demi dinasti.
Ada kisah terkenal mengenai ahli kalirafi Xi Zhi Wang dari Dinasti Dong
Jing. Xi Zhi Wang adalah orang pertama yang menulis kaligrafi diatas
kipas dan hal ini terdokumentasi dalam sejarah. Buku sejarah dinasti
Jing: “Biografi Xi Zhi Wang” menceritakan sebuah kisah saat Xi Zhi Wang
datang ke kota Shao Xin dan melihat seorang wanita tua membawa lebih
dari 10 kipas bambu berbentuk heksagonal (segi enam) yang ingin
dijualnya ke pasar. Xi Zhi Wang merasa kasihan kepada wanita tua itu dan
bertanya kepadanya, “Berapa harga kipasnya, Bu?” “20 Wen”, kata wanita
tua itu. Xi Zhi Wang mengambil kuasnya dan menulis 5 karakter pada
kipas-kipas itu dan berkata kepadanya, “Katakan kepada orang-orang bahwa
Wang yang menulis huruf-huruf ini diatas kipas, maka ibu bisa menjual
setiap kipas ini seharga 100 Wen.” Kemudian wanita tua ini pergi ke
pasar dan mengatakan kepada setiap orang tentang hal tersebut. Tak
disangka, banyak orang membeli kipas itu, tak lama kemudian sudah ludes
terjual. Untuk mengenang kisah ini, di kota Shao Xin, Provinsi Zhejiang,
ada jembatan bernama “Jembatan Kipas Kaligrafi” yang terletak di dekat
Gunung Chi, inilah tempat dulu dimana Xi Zhi Wang menulis kaligrafi
diatas kipas untuk pertama kalinya.
Selama pemerintahan Dinasti Shui dan Dinasti Tang, kipas diproduksi
dengan sangat elegan dan memiliki banyak variasi. Yang paling populer
saat itu adalah kipas sutera, kipas bulu dan kipas kertas. Kaisar Tai
Zhong dari Dinasti Tang juga terkenal akan kepiawaiannya melukis
kaligrafi diatas kipas. Pada festival perahu naga, dia sendiri menulis
kaligrafi diatas kipas untuk diberikan sebagai cenderamata bagi para
menteri yang hadir. Menurut buku “Sejarah Tang”, kipas itu bukan hanya
berfungsi sebagai cenderamata, melainkan juga untuk mengenang mereka
yang telah wafat. Setelah era dinasti Tang berlalu, tradisi ini
diturunkan ke era Dinasti Song, Ming dan Qing. Sampai sekarang,
penulisan kaligrafi diatas kipas masih tetap populer.
Dari kisah diatas, kita dapat melihat bahwa kipas Tiongkok, juga sama
seperti busana tradisional dan lukisan Tiongkok, atau ajaran tradisional
seperti “bakti anak kepada orangtua”, “keadilan”, “kepercayaan”,
“kebaikan” memiliki peran penting dalam budaya Tionghoa. Selain
digunakan dalam fungsi dasarnya atau sebagai dekorasi bagi wanita atau
kaum terpelajar, kipas juga digunakan sebagai pelengkap pentas untuk
Ping Tan (pembacaan cerita Tiongkok, biasanya dipadukan dengan instrumen
musik tradisional), opera teatrikal Tionghoa, tarian dan Quyi
(pembacaan cerita dengan musik dan peragaan). Bila kita memikirkannya,
banyak sajak umum mengenai kipas, seperti sajak terkenal dibawah ini:
“Mengibaskan kipas bulu dan saputangan
sutera, dia bercanda dan tersenyum, menyingkirkan kapal-kapal musuh yang
menerbangkan debu dan asap.” Sajak ini menggambarkan kepercayaan diri.
“Memegang kipas bundar sambil membungkuk
dengan menepukkan tangan adalah seperti menggenggam bulan purnama,
mengibaskan kipas untuk mendapatkan hembusan angin.” Sajak ini menggambarkan kecermatan dan keanggunan.
Sajak-sajak diatas mengilustrasikan bahwa kipas digunakan dengan gaya anggun selama 5000 tahun sejarah Tiongkok.
Saat kini, tour budaya tionghoa keliling dunia Divine Performing Arts
(Shen Yun) telah mengangkat kembali nilai budaya tionghoa ke seluruh
dunia. Dari feedback penonton, kita mengetahui bahwa khalayak menyukai
bangkitnya kembali budaya luhur dari surga ini.
Salah satu tarian berjudul “Dengan Bahagia Menyambut Mekarnya Musim Semi”
menggunakan kipas yang ditarikan secara elegan oleh para penari.
Kipas-kipas indah itu kemudian berubah menjadi mekarnya kuntum bunga.
Banyak orang setelah menyaksikan tarian ini mendalami maknanya, yaitu
semua hal yang baik dimulai dari kebaikan hati. Kebaikan hati adalah
sebuah berkah yang harus kita teruskan kepada orang lain. Apabila kita
memperlakukan orang lain di sekeliling kita dengan buruk, kita tak dapat
berharap bahwa mereka dapat memperlakukan kita dengan baik.
Dengan menyaksikan tarian Shenyun yang mengandung makna nilai-nilai
tradisional Tiongkok, saya berpikir bahwa simbol dari karakter Tiongkok “Kebaikan” dan “Kipas”.
Dalam bahasa Tionghoa, kedua karakter ini mempunyai bunyi yang sama.
“Kipas” menggambarkan kebutuhan sehari-hari yang berfungsi juga sebagai
keindahan. Masyarakat telah lama menggunakannya, telah menjadi suatu
bentuk budaya. “Kebaikan” adalah sifat alami manusia, ia adalah elemen
jiwa terdalam. Karena polusi dari masyarakat modern, sifat alami ini
telah terkubur. Kini yang kita saksikan adalah manusia-manusia egois
yang mengedepankan kepentingan dirinya dan keluarganya semata, jauh dari
nilai-nilai kebaikan universal.
Saat saya menyaksikan tarian kipas Shenyun ini, terasa hembusan angin
segar di hati, bagaikan menghapus unsur negatif didalam diri. Bagaikan
ribuan bunga mekar bersamaan, menyebarkan kebahagiaan. Saya merasakan
penari-penari tersebut dengan menggunakan langkah kaki yang selembut
bulu, mengalir bagaikan air, kipas yang bagaikan bunga, mengirimkan
pesan kebaikan kepada orang-orang.
Sebagai penutup, saya mengingat kembali budaya pernikahan di tempat
tinggal saya. Ada sebuah aturan, yakni setelah pasangan pengantin
meninggalkan orang tua mereka menuju rumah mereka sendiri, begitu mereka
mulai berjalan, mereka akan melakukan hal ini: mereka akan meninggalkan
kipas mereka di depan rumah mereka. Dalam dialek Ming Nan, karakter
"kipas" dan "nama belakang" juga mempunyai bunyi yang sama. Setelah itu,
sang isteri akan mengambil belakang suaminya untuk diletakkan didepan
namanya sendiri, janji mereka akan hidup setia selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar